Image result for BAHASA AREMAMenguping pembicaraan beberapa pemuda yang bergerombol di sejumlah tempat umum di Malang, pasti akan merasakan sulitnya memahami bahasa mereka. Secara umum, yang mereka gunakan memang bahasa Jawa, namun bahkan bagi orang Malang bahasa para pemuda itu memang sulit dipahami. Kata-kata “aneh” dan asing bahkan bagi sebagian warga Malang itu, misalnya “ebes”, “memes”, “ojir”, “odum”, “kera atau ker”. Kata-kata itu biasanya meluncur dari mulut anak-anak muda “kera ngalam” (arek Malang). Bahasa yang digunakan anak-anak muda itu bukan sepenuhnya bahasa Jawa yang lazim digunakan orang-orang Jawa, termasuk masyarakat Jawa Timur. Dalam satu dialog sering kali digunakan kata-kata yang sama sekali tidak ada dalam kaidah maupun struktur bahasa Jawa, bahkan dalam kamus bahasa Jawa. Menurut pakar bahasa dari Universitas Negeri Malang (UM) Dr Imam Agus Basuki, bahasa yang kerap digunakan anak-anak muda dan komunitas tertentu itu adalah bahasa “walikan” (kata yang dibalik pengucapannya). “Kata-kata yang terangkai dalam kalimat itu memang tidak akan pernah ditemui dalam kamus bahasa, termasuk bahasa Jawa, karena bahasa itu memang khas dan lahir di Malang,” paparnya. Ia mengakui, bahasa walikan khas Malangan itu tidak mudah dimengerti orang lain, tak terkecuali sebagian masyarakat asli daerah itu, karena struktur kata dan kalimatnya sudah jauh menyimpang dari kaidah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia pada umumnya. Namun, bahasa walikan itu menunjukkan identitas diri yang sudah membumi di kalangan arema/arek Malang, suatu wilayah terdiri atas Kota dan Kabupaten Malang serta Kota Batu. Bahasa walikan khas Malangan, kata dosen Fakultas Sastra UM itu, tidak hanya sebatas penggunaan kata dalam bahasa Jawa, tetapi juga bahasa Indonesia, seperti tidak main menjadi “kadit niam”, sepatu menjadi “utapes”, pulang menjadi “ngalup” dan masih banyak lagi bahasa Indonesia yang diucapkan secara terbalik. Selain bahasa Indonesia atau bahasa Jawa yang pengucapannya dibalik, kata Imam, daerah ini juga memiliki kosa kata sendiri yang tidak diadopsi dari bahasa manapun, seperti “ojir” (uang), idrek (kerja), ebes (ayah/bapak), memes (ibu), daroja (sepeda). Kata-kata tersebut sama sekali tidak ditemukan dalam kamus bahasa Jawa maupun Indonesia. “Bahasa Malangan ini memang benar-benar khas dan unik dan bahasa ini akan sering kita temukan dalam komunitas Aremania (suporter) Arema, apalagi kalau mereka tur keluar daerah, pasti bahasa walikan ini menjadi identitas dan jati diri sebagai warga Malang,” katanya. Seorang Aremania (pendukung klub sepakbola Arema), Suntono juga mengakui, penggunaan bahasa walikan akan mempererat tali persaudaraan antarkomunitas. Bahkan bahasa itu juga sering digunakan ketika mengikuti tur keluar daerah. “Saya bangga punya bahasa yang tidak dimiliki oleh daerah mana pun dan di mana pun kami selalu menggunakan bahasa kami sendiri,” katanya. Karyawan sebuah perusahaan swasta di Malang itu mengakui, dengan menggunakan bahasa walikan tersebut, dirinya merasa nyaman dan lebih akrab dengan lawan bicara yang sama-sama memahami bahasa tersebut. Ia mengusulkan, bahasa walikan tersebut bisa dilestarikan dan diajarkan secara turun-temurun, supaya tetap hidup. Bahkan kalau bisa para penulis dan seniman atau komunitas masyarakat yang ada di Malang menerbitkan kamus khusus bahasa walikan. Dengan adanya kamus khusus bahasa walikan itu, masyarakat terutama anak-anak mudanya bisa belajar dan lebih memahami bahasa itu. “Kalau anak muda di daerah ini tidak paham dan tidak ‘itreng’ (ngerti) bahasa walikan atau Malangan ini, wah kurang gaul. Sebab bahasa walikan sudah dikenal dan sudah membumi di Bumi Arema tercinta ini. Masak orang Malang tidak ngerti dengan bahasa Malangan yang menjadi ciri khas daerahnya,” kata Suntono. Lebih lanjut, Suntono mengemukakan, sebenarnya tidak hanya bahasa walikan saja yang bisa menunjukkan identitas orang Malang ketika berada di luar daerah asalnya. Dialek bahasa Jawa yang berkembang di Malang juga berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya, sebab orang Malang tidak akan merasa nyaman kalau kata-kata yang diucapkan tidak mengandung akhiran a atau an. Contohnya, “wis mangan-a” (sudah makan), “sepatuan” (pakai sepatu), “wis mari-a” (sudah selesai) dan masih banyak contoh lainnya. Padahal di daerah lain, “mangan” cukup dengan kata makan tanpa imbuhan a atau “sepatuan” di daerah lain menjadi “sepatonan”. Menurut Imam, dialek bahasa Jawa Malangan dan bahasa walikan itu benar-benar unik, dan sekarang juga sudah dipakai secara luas di kalangan masyarakat, terutama anak-anak muda dan orang tua yang “gaul”. “Bahasa walikan khas Malangan ini sudah begitu kuat dan mendarah daging bagi warga Malang, sehingga di mana pun mereka berada tak akan pernah dan tak akan bisa berkomunikasi tanpa menggunakan walikan,” paparnya. Sejarah Menurut pengamat sejarah dari (UM) Dwi Cahyono, bahasa walikan khas Arema yang kini sudah menjadi bahasa “gaul” di kalangan masyarakat Malang tersebut, sebenarnya sudah lama digunakan oleh para pejuang di masa sebelum kemerdekaan. Bahasa walikan sudah lama menjadi sandi bagi para pejuang untuk berkomunikasi dengan para pribumi. “Pada jaman penjajahan dulu, para pejuang kita selalu berkomunikasi dengan bahasa walikan dengan tujuan untuk mengelabui para penjajah Belanda. Sebab, dengan cara itu, ternyata lebih mudah menjalin hubungan dan komunikasi dengan sesama pejuang serta pribumi,” katanya mengungkapkan. Kini bahasa walikan sudah membaur jadi satu dengan bahasa Malangan. Bahkan, kini sudah menjadi “trade mark” warga Malang. “Bahasa Malangan kini sudah menjadi bahasa ‘gaul’ dari berbagai kalangan. Tidak hanya yang muda. Yang tua pun masih tetap menggunakannya. Bahkan, bahasa walikan ini bisa mempererat hubungan persaudaraan,” tutur Dwi. Secara gamlang Dwi menjelaskan, bahasa walikan khas Arema itu berasal dari pemikiran para pejuang tempo dulu, yaitu kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK). Bahasa khusus ini dianggap perlu untuk menjamin kerahasiaan, efektivitas komunikasi sesama pejuang, selain juga sebagai pengenal identitas kawan atau lawan. Metode pengenalan dengan bahasa walikan ini ternyata sangat penting, karena pada masa perang kemerdekaan sekitar akhir Maret 1949, Belanda banyak menyusupkan mata-mata di dalam kelompok pejuang Malang. Mata-mata ini banyak yang mampu berkomunikasi dalam bahasa daerah dengan tujuan menyerap informasi dari kalangan pejuang GRK. Penyusupan ini terutama untuk memburu sisa laskar Mayor Hamid Rusdi yang gugur pada 8 Maret 1949 dalam pertempuran dukuh Sekarputih (sekarang Desa Wonokoyo). Seorang tokoh pejuang Malang pada saat itu yaitu Pak Suyudi Raharno mempunyai gagasan untuk menciptakan bahasa baru bagi sesama pejuang, sehingga dapat menjadi suatu identitas tersendiri. Selain itu, sekaligus menjaga keamanan informasi. Bahasa tersebut haruslah lebih kaya dari kode dan sandi serta tidak terikat pada aturan tata bahasa baik itu bahasa nasional, bahasa daerah (Jawa, Madura, Arab, China) maupun mengikuti istilah yang umum dan baku. Sementara Dukut Imam Widodo dalam bukunya “Malang Tempo Doeloe” menjelaskan, bahasa walikan bermula saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tahun 1945. Saat itu, Malang menjelma menjadi medan tempur yang sangat sengit. Pemikiran akan bahasa walikan ini berasal dari para pejuang yang tergabung dalam kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK). Bahasa dengan sedikit modifikasi ini dirasa perlu untuk menjamin kerahasiaan, efektivitas komunikasi sesame pejuang, selain sebagai pengenal kawan atau lawan (semacam sandi). Komunikasi dengan bahasa walikan ini dianggap perlu karena pada masa perang mempertahankan kemerdekaan, Belanda juga menerjunkan mata- mata yang mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan bahasa daerah dengan tujuan menyerap informasi dari para pejuang. Penyusupan itu dilakukan untuk memburu sisa anak buah Mayor Hamid Rusdi yang telah gugur tahun 1949. Untuk mengatasi mata-mata tersebut, seorang tokoh pejuang Malang saat itu yakni Suyudi Raharno mempunyai gagasan untuk menciptakan sebuah model bahasa baru yang digunakan bagi sesama pejuang untuk menjaga kerahasiaan informasi. Bahasa tersebut tentunya harus lebih luas dari sandi dan tidak terikat pada bahasa manapun (nasional maupun daerah). Bahasa tersebut hanya mengenal satu cara baik dari segi penulisan maupun pengucapan yang dari belakang ke depan (dibaca dan ditulis terbalik). Karena keakraban para pejuang, bahasa ini cepat dikuasai oleh para pejuang dan keberadaan mata-mata pun dapat dengan mudah dideteksi, maka perlu disepakati beberapa istilah penting selain untuk mencari padanan bagi kata-kata yang sekiranya sulit dibaca terbalik namun tetap mudah diingat oleh pengucapnya. Sebagai contoh nama negara “Belanda” yang dalam bahasa Jawanya disebut “londho”, dibalik menjadi nolo, begitu juga dengan polisi tidak dibaca isilop, namun cukup dibaca silop saja. Suyudi Raharno gugur pada September 1949 di tangan Belanda. Sepekan sebelumnya, seorang kawan akrabnya yang turut mencetuskan “osob kera ngalam” (bahasa arek Malang) yaitu Wasito juga gugur dalam pertempuran di Gandongan (sekarang Pandanwangi). Kini keduanya telah disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Jalan Veteran Malang. Namun, kata Dwi, kalau dicermati lebih jauh, sebenarnya antara bahasa Malang dan Bahasa walikan memiliki perbedaan. Bahasa Malangan sebenarnya memang benar-benar bahasa yang kosakatanya memang asli dari Malang (tidak karena dibalik). Sementara itu, bahasa walikan asalnya memang kosakata-kosakata umum yang biasa dipakai, namun dibalik pengucapnnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
RIZQI WEBSITE © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top